BAB I
PENDAHULUAN
Natsir
adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang tak pernah kering
meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda, bersekolah di Bandung dan terlibat dalam
berbagai polemik intelektual di bidang keagamaan dan politik, ia selalu menjadi
fokus perhatian orang. Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar
biasa tentang Islam. Ia juga dengan sangat berani mengemukakan gagasannya yang
sangat bertentangan dengan pemikir lain salah satunya adalah Presiden Soekarno.
Natsir
lahir di Minangkabau, Alahan Panjang, Sumatra Barat 17 Juli 1908, dan wafat di
Jakarta 5 Februari 1993. Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai
pemerintahan di sana,
ibunya, Khadijah adalah ibu rumah tangga yang bijaksana dan
kakeknya seorang ulama. Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse
School (HIS) Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para
pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene
Middelbare Schol (AMS) Bandung
hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para
aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem
dan Sutan Syahrir.
Ia
diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan
Negarawan. Ia tdak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk
tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetuai
Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung,
1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS.
Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di
Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern yang bernafas agama. Di Pendis
ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak 1932.
Walaupun Natsir selalu ’menghendaki’ agama sebagai ideologi
negara, akan tetapi ia berusaha menampilkan semangat ke-Islaman-nya dengan
wajah terbuka dan lebih luwes. Ia adalah seorang politisi profesional diantara
banyak pemikir. Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus,
pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah
selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya,
Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh
sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi
teman bicaranya.
Mohammad
Natsir, (d) Op.cit., hal., 8.
Namun
dibalik temperamennya yang lemah lembut dan mudah tersenyum itu, sosok pribadi
Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh. Ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan
dengan orang-orang lain, ia terkesan terbuka dan malahan cenderung
kompromistik, sejauh kemungkinan kompromi-kompromi itu dapat dicapai tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya.
Pemikiran politik Mohammad Natsir yang
sangat terkenal adalah tentang agama
dalam hal ini agama Islam sebagai ideologi negara dan beberapa aspek
pemikirannya yang mengundang kontroversi. Pemikiran Politik yang
dimaksud disini adalah upaya pencarian landasan intelektual bagi konsep negara
atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat, baik lahiriah maupun bathiniah. Pemikiran politik
Natsir dalam hal ini, merupakan ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan
nilai-nilai Islam dalam konteks sistem bernegara.
Hal
inilah yang membuat saya tertarik untuk membahas mengenai pemikiran politik
natsir yang mana terfokus pada hubungan agama dengan negara.
Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online),
(www.wikipedia.com), Selasa, 21 juni 2011
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Politik Natsir
Agama,
menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara.
Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia
adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.
Yang
dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang,
hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan
perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal
keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam
musyawarah bersama, seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah urusan
mereka diputuslan dengan musyawarah!”.
Natsir memang mencoba menjawab
kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat Islam, dengan dasar pemikiran,
bahwa ajaran Islam sangat dinamis untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman.
Dari sudut ini, ia jauh melampaui pemikiran Maududi atupun Ibu Khaldun yang
melihat sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai
satu-satunya alternatif sistem pemerintahan negara Islam.
Kedinamisan pemikiran-pemikirannya itu
dituangkan dalam beberapa periode. Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang
menjadi pokok utama pemikiran Natsir. Yaitu periode 1930-1940, periode pasca
kemerdekaan, dan periode konstituante. Berbicara tentang negara, Natsir
berpendapat bahwa negara adalah suatu ‘institution’ yang mempunyai hak, tugas
dan tujuan yang khusus. Institution adalah suatu badan, organisasi yang
mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan
peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum. Negara harus mempunyai
akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Karena itu, dasar pun harus
sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat
dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti
dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan maupun kolektif.
Anwar Harjono,
et. al., Op.cit., hal., 139
Mohammad Natsir
(d), Op.cit.., hal., 13-14.
Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi
negara, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok
pikiran yang pasti, yakni UUD bagi negara Indonesia harus menempatkan negara
dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat
dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam akal pikiran, alam
perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negeri
ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah
menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas sendi-sendi
yang pokok.
B. Implikasi Pemikiran Kenegaraan Mohammad Natsir
Politik idealistik yang didengungkan oleh
para intelektual islam modernis pada masa demokrasi terpimpin bertujuan untuk
mengembalikan kedudukan pemerintah yang dipegang oleh soekarno dengan manipol
usdek dan nasakomnya yang telah
menyimpang dari ajaran islam. Namun sikap korektif terhadap pemerintah yang
otokrasi dan diktator soekarno yang dilancarkan oleh kaum intelektual islam
modernis berakhir dalam penjara seperti natsir dan kawan-kawan.
Sebagaimana diilustrasikan oleh Deliar
Noer bahwa masa demokrasi terpimpin sebagai masa yang mirip dengan masa peperangan,
tidak merefleksikan nilai-nilai demokrasi yang dikandungnya, dimana orang yang
berbeda pendapat dianggap sebagai musuh dan harus dibasmi.
Dengan begitu implikasi dari pemikiran
politik yang idealistik dalam pemerintahan yang tidak mengindahkan demokrasi
yang sesungguhnya dapat dicontohkan dengan tersingkirnya kaum intelektual islam
modernis dari panggung politik praktis. Karena dalam suatu pemerintahan yang
tidak menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kritik yang
konstruktif dalam perjalanan sebuah pemerintahan, orang seperti natsir dan
kawan-kawan dianggap sebagai penghalang dalam teraplikasinya program-program
pemerintahan.
C. Faktor-faktor Mempengaruhi Pemikiran Kenegaraan Mohammad Natsir
Kecendrungan pemikiran politik intelektual
islam indonesia termasuk natsir pada kurun waktu 1945-1965 pada hakekatnya
dipengaruhi beberapa hal sbb :
1. Kondisi sosial politik indonesia selama
dua dasawarsa (1945-1965) mengalami 3 periode
yaitu revolusi fisik (1945-1950), masa demokrasi parlementer
(1950-1959), masa demokrasi liberal (1959-1965)
2. Pemahaman dan interprestasi intelektual
islam terhadap ajaran yang diyakininya bahwa islam adalah ajaran yang komplit
dan sempurna, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia
itu dapat dilihat dalam al-qur’an dan hadi’s.
3. Pemikiran politik natsir selain
terpengaruh pemikiran intelektual muslim masa klasik dengan karya-karya monutementalnya
seperti al-Mawardi dengan alhakam Sulthanyyah, juga terpengaruh oleh kaum
intelektual islam modern seperti al-Maududi dan al-Afgani.
4. Trend pemikiran politik barat yang sedang
merebak didunia islam sebagai akibat kontak dengan peradapan barat dalam bentuk
imprealisme barat di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tak
terkecuali indonesia yang pernah dijajah kolonial belanda selama 350 tahun
seperti terma-terma demokrasi, dewan perwakilan rakyat, republik, nasionalisme,
dll. Konsekuensi pengenalan dari terma-terma politik barat tersebut para
intelektual indonesia baik dari kalangan tradisionaisme maupun modernis hampir
tidak dapat ditemukan pemikirannya tentang pendirian sistem monarki dengan
didasrkan ikatan agama melainkan mereka menginginkan suatu negara republik yang
didasarkan pada rasionalisme.
5. Visi dan misi organisasi yang digeluti
oleh intelektual islam telah mempengaruhi arah pemikiran dan sikap atau prilaku
politik mereka dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan politiknya. Natsir
salah satu kaum intelektual modernis terpengaruh oleh visi dan tujuan Masyumi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian tentang pemikiran kenegaraan
natsir, tampak bahwa pemikirannya dengan ciri khas regualitasnya akan tetapi
tidak kalah dengan kaum pemikiran intelektual sekular. Hal ini karena natsir
melakukan dialog edukatif yang intensif tentang agama dan ia juga belajar
disekolah-sekolah yang didirikan belanda yang tentunya syarat dengan gagasan
modern tentang negara seperti demokrasi, nasionalisme, dan republik.
Hubungan islam dan negara dalam pandangan
natsir adalah hubungan yang integral dan simbiotik, tidak ada dikotomik yang
bermuara pada sekuralisasi. Baginya agama islam adalah agama universal yang
menata seluruh mekanisme kehidupan, termasuk masalah negara.
Implikasi pemikiran natsir yang memiliki
kecendrungan politik identik dan kritis terhadap roda pemerintahan yang kurang
mengindahakan demokrasi, adalah tersingkirnya ia dari pentas politik, karir
politiknya berakhir dipenjara sebagai tahanan politik.
Daftar Pustaka
J.H. Rapar, Filsafat Politik,,Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001,.
Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Pemikiran
dan Perjuangan Muhammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival
dalam perspektif sejarah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1976
Wikipedia, Mohammad
Natsir, (Online), (www.wikipedia.com),selasa, 21 juni 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar