Kamis, 19 April 2012

Pemikiran Politik Natsir

BAB I
PENDAHULUAN

Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang tak pernah kering meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda, bersekolah di Bandung dan terlibat dalam berbagai polemik intelektual di bidang keagamaan dan politik, ia selalu menjadi fokus perhatian orang. Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasa tentang Islam. Ia juga dengan sangat berani mengemukakan gagasannya yang sangat bertentangan dengan pemikir lain salah satunya adalah Presiden Soekarno.
Natsir lahir di Minangkabau, Alahan Panjang, Sumatra Barat 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta 5 Februari 1993. Ayahnya, Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana, ibunya, Khadijah adalah ibu rumah tangga yang bijaksana dan kakeknya seorang ulama. Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol (AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.
Ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia tdak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetuai Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak 1932.
Walaupun Natsir selalu ’menghendaki’ agama sebagai ideologi negara, akan tetapi ia berusaha menampilkan semangat ke-Islaman-nya dengan wajah terbuka dan lebih luwes. Ia adalah seorang politisi profesional diantara banyak pemikir. Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.
Mohammad Natsir, (d) Op.cit., hal., 8.
9 Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online), (www.wikipedia.com),selasa, 21 Juni 2011.  
Namun dibalik temperamennya yang lemah lembut dan mudah tersenyum itu, sosok pribadi Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh. Ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orang-orang lain, ia terkesan terbuka dan malahan cenderung kompromistik, sejauh kemungkinan kompromi-kompromi itu dapat dicapai tanpa mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya.
Pemikiran politik Mohammad Natsir yang sangat terkenal adalah  tentang agama dalam hal ini agama Islam sebagai ideologi negara dan beberapa aspek pemikirannya yang mengundang kontroversi. Pemikiran Politik yang dimaksud disini adalah upaya pencarian landasan intelektual bagi konsep negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahiriah maupun bathiniah. Pemikiran politik Natsir dalam hal ini, merupakan ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem bernegara.
Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk membahas mengenai pemikiran politik natsir yang mana terfokus pada hubungan agama dengan negara.

















Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online), (www.wikipedia.com), Selasa, 21 juni 2011

BAB II
PEMBAHASAN


A. Pemikiran Politik Natsir
Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.
Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam musyawarah bersama, seperti dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah urusan mereka diputuslan dengan musyawarah!”.
Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat Islam, dengan dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam sangat dinamis untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman. Dari sudut ini, ia jauh melampaui pemikiran Maududi atupun Ibu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan khalifah yang empat, sebagai satu-satunya alternatif sistem pemerintahan negara Islam.
Kedinamisan pemikiran-pemikirannya itu dituangkan dalam beberapa periode. Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang menjadi pokok utama pemikiran Natsir. Yaitu periode 1930-1940, periode pasca kemerdekaan, dan periode konstituante. Berbicara tentang negara, Natsir berpendapat bahwa negara adalah suatu ‘institution’ yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus. Institution adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta diakui oleh umum. Negara harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Karena itu, dasar pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan maupun kolektif.


Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal., 139  
Mohammad Natsir (d), Op.cit.., hal., 13-14.
Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni UUD bagi negara Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam akal pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negeri ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas sendi-sendi yang pokok.

B. Implikasi Pemikiran Kenegaraan Mohammad Natsir
Politik idealistik yang didengungkan oleh para intelektual islam modernis pada masa demokrasi terpimpin bertujuan untuk mengembalikan kedudukan pemerintah yang dipegang oleh soekarno dengan manipol usdek dan nasakomnya  yang telah menyimpang dari ajaran islam. Namun sikap korektif terhadap pemerintah yang otokrasi dan diktator soekarno yang dilancarkan oleh kaum intelektual islam modernis berakhir dalam penjara seperti natsir dan kawan-kawan.
Sebagaimana diilustrasikan oleh Deliar Noer bahwa masa demokrasi terpimpin sebagai masa yang mirip dengan masa peperangan, tidak merefleksikan nilai-nilai demokrasi yang dikandungnya, dimana orang yang berbeda pendapat dianggap sebagai musuh dan harus dibasmi.
Dengan begitu implikasi dari pemikiran politik yang idealistik dalam pemerintahan yang tidak mengindahkan demokrasi yang sesungguhnya dapat dicontohkan dengan tersingkirnya kaum intelektual islam modernis dari panggung politik praktis. Karena dalam suatu pemerintahan yang tidak menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kritik yang konstruktif dalam perjalanan sebuah pemerintahan, orang seperti natsir dan kawan-kawan dianggap sebagai penghalang dalam teraplikasinya program-program pemerintahan.

C. Faktor-faktor Mempengaruhi Pemikiran Kenegaraan Mohammad Natsir
Kecendrungan pemikiran politik intelektual islam indonesia termasuk natsir pada kurun waktu 1945-1965 pada hakekatnya dipengaruhi beberapa hal sbb :
1.      Kondisi sosial politik indonesia selama dua dasawarsa (1945-1965) mengalami 3 periode  yaitu revolusi fisik (1945-1950), masa demokrasi parlementer (1950-1959), masa demokrasi liberal (1959-1965)
2.      Pemahaman dan interprestasi intelektual islam terhadap ajaran yang diyakininya bahwa islam adalah ajaran yang komplit dan sempurna, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia itu dapat dilihat dalam al-qur’an dan hadi’s.
3.      Pemikiran politik natsir selain terpengaruh pemikiran intelektual muslim masa klasik dengan karya-karya monutementalnya seperti al-Mawardi dengan alhakam Sulthanyyah, juga terpengaruh oleh kaum intelektual islam modern seperti al-Maududi dan al-Afgani.
4.      Trend pemikiran politik barat yang sedang merebak didunia islam sebagai akibat kontak dengan peradapan barat dalam bentuk imprealisme barat di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tak terkecuali indonesia yang pernah dijajah kolonial belanda selama 350 tahun seperti terma-terma demokrasi, dewan perwakilan rakyat, republik, nasionalisme, dll. Konsekuensi pengenalan dari terma-terma politik barat tersebut para intelektual indonesia baik dari kalangan tradisionaisme maupun modernis hampir tidak dapat ditemukan pemikirannya tentang pendirian sistem monarki dengan didasrkan ikatan agama melainkan mereka menginginkan suatu negara republik yang didasarkan pada rasionalisme.
5.      Visi dan misi organisasi yang digeluti oleh intelektual islam telah mempengaruhi arah pemikiran dan sikap atau prilaku politik mereka dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan politiknya. Natsir salah satu kaum intelektual modernis terpengaruh oleh visi dan tujuan Masyumi.


















BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Dari uraian tentang pemikiran kenegaraan natsir, tampak bahwa pemikirannya dengan ciri khas regualitasnya akan tetapi tidak kalah dengan kaum pemikiran intelektual sekular. Hal ini karena natsir melakukan dialog edukatif yang intensif tentang agama dan ia juga belajar disekolah-sekolah yang didirikan belanda yang tentunya syarat dengan gagasan modern tentang negara seperti demokrasi, nasionalisme, dan republik.
Hubungan islam dan negara dalam pandangan natsir adalah hubungan yang integral dan simbiotik, tidak ada dikotomik yang bermuara pada sekuralisasi. Baginya agama islam adalah agama universal yang menata seluruh mekanisme kehidupan, termasuk masalah negara.
Implikasi pemikiran natsir yang memiliki kecendrungan politik identik dan kritis terhadap roda pemerintahan yang kurang mengindahakan demokrasi, adalah tersingkirnya ia dari pentas politik, karir politiknya berakhir dipenjara sebagai tahanan politik.
















Daftar Pustaka
J.H. Rapar, Filsafat Politik,,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001,. 
Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. 
Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1976 
Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online), (www.wikipedia.com),selasa, 21 juni 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar