Kamis, 19 April 2012

OTONOMI DAERAH BERDASAKAN UU NO.22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada masa orde baru atau sebelum tahun 1998  segala bentuk kebijakan dinegara Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di negara ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat atau daerah sangat bergantung pada Jakarta serta didikte oleh pemerintahan pusat. Dan bisa dikatakan pada masa Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah). Daerah yang mempunyai kekayaan sumber daya alam tidak bisa dinikmati oleh masyarakat daerah tersebut, akan tetapi keuntungan produksinya ditarik atau diambil alih oleh pemerintah pusat dan dibagi-bagikan kepada elite pemerintahan pusat di Jakarta. Hal ini mengakibatkan pembangunan tidak merata, sangat terlihat jelas ketimpangan pembangunan di daerah dengan pusut (Jakarta).
Keinginan pemerintah untuk melaksanakan otonomi daerah kalau kita kita telusuri kebelakang sebenarnya pemerintah sudah memiliki komitmen meskipun bisa dikatakan masih rendah dan berjalan tidak tentu arah. Hal ini bisa dilihat sejak dilahirkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah, yang mana dalam pasal 11-nya telah ditegaskan bahwa titik berat otonomi diletakkan pada daerah tingkat II, dan yang menjadi hambatan dalam pelaksanaannya adalah pemerintah saat itu tidak kunjung mengeluarkan PP untuk melaksanakan amanah pasal tersebut. Sehingga dengan tidak adanya aturan main yang jelas, otonomi daerah berjalan sesuai keinginan atau kehendak pemimpin negeri yang menjabat saat itu. Sehingga hal ini mengakibatkan, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantu berjalan tidak serasi dengan asas desentralisasi yang menjadi landasan atau pondasi awal dalam prinsip otonomi daerah.



Djohan, djohermansyah, Kebijakan Otonomi Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003,  hal 1-2.
Setelah berakhirnya masa orde baru masuklah negara Indonesia pada masa reformasi, pada masa ini yang ditandai oleh bangkitnya demokrasi, cara-cara pengelolaan pemerintahan ala Orde Baru yang mana negara menjadi titik sentral yang menentukan perkembangan pembangunan di daerah hrus segara diakhiri. Desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat atau pemerintah tingkat atasnya kepada pemerintah daerah secara lebih bermakna merupakan salah satu agenda penting yang perlu diwujudkan pada masa reformasi ini.
Sudah waktunya bila kini pemerintah daerah diberi kepercayaan untuk tampil secara kreatif memberi arti dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Pemerintah pusat hanya memberi bimbingan dan memfasilitasi apa-apa yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Jika pemerintah daerah diberi kepercayaan dan otoritas untuk menyelenggaraakan sebagian besar urusan domestik, bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalannya, maka pemerintah pusat bisa lebih santai, cukup hanya dengan mengawasi dan memberi dukungan saja. Dan dengan begitu, pemerintah pusat lebih banyak tersedia waktu untuk berkonsentrasi kepada urusan yang memerlukan kebijakan nasional dan urusal-urusan strategis untuk kompetisi global.
Pemikiran-pemikiran diatas telah menciptakan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru ( Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang ditetapkan tanggal 7 Mei 1999). Berbagai pengaturan yang lebih progresif tentang otonomi daerah, di bandingkan Undang-Undang No.5 Tahun 1974 telah ditetapkan.
Dari berbagai penjelasan diatas membuat saya tertarik untuk membahas makalah ini dengan judul ”Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah”.





Djohan, djohermansyah, Kebijakan Otonomi Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003,  hal 13-14.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah singkat UU No.22 Tahun 1999

Sebelum masuk kepada masa reformasi ini, dahulu negara Indonesia semasa zaman orde baru kekuasaan pemerintah pusat sangat sentralistik. Hal ini banyak mendapat protes dari berbagai kalangan didaerah seperti daerah aceh dan papua yang menuntut merdeka dan ingin berpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dan pada tahun 1998 masa orde baru dibawah kepemimpinan soeharto berakhir, kemudian masuklah negara Indonesi ke masa reformasi di bawah pimpinan B.J. Habibie.
Pada awal masa reformasi ini lahirlah UU Otonomi Daerah khususnya (UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah), dengan lahirnya UU ini keinginan provinsi seperti aceh dan papua untuk berpisah dengan negara Republik Indonesia semakin kuat, bahkan ada berbagai daerah yang ingin melakukan pemekaran provinsi atau kabupaten dalam upaya membangun daerah mereka kearah yang lebih baik. Dalam hal tentang keinginan daerah bagaimana telah disebut diatas terdapat pro dan kontra sehingga menaikkan suhu politik di Indonesia.
UU No. 22 Tahun 1999 lahir didorong oleh tuntutan daerh tadi yang mana menginginkan kebebasan di era kebebasan politik ini, dan juga didorong oleh keinginan pemerintah pusat untuk mengatasi masalha disintegrasi yang melanda Indonesia. Jika dilihat ada beberapa ciri yang menonjol dari UU ini, yaitu:
1.      Demokrasi dan demokratisasi.
2.      Mendekatkan pemerintah dengan rakyat.
3.      Sistim otonomi luas dan nyata.
4.      Tidak menggunakan sistim otonomi yang bertingkat.
5.      Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah dibiayai oleh anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN).



B.     Dasar Pemikiran
                   a.            Negara Republik Indonesia sebagai negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, antara lain, menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain, dikemukakan bahwa "oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai Daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek en locale rechtgemeensschappen) atau bersifat adminitrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang". Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di daerah pun, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
                  b.            Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
                   c.            Undang-undang ini disebut "Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah" karena undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi.


Penjelasan UUD 1945

                  d.            Sesuai dengan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tersebut di atas, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Disamping itu, penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
                   e.            Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, undang-undang ini menempatkan Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya Tingkat II. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
                   f.            Propinsi Daerah Tingkat I menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam undang-undang ini dijadikan Daaerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.
                  g.            Pemberian kedudukan Propinsi sebagai Daerah Otonom dan sekaligus sebagai Wilayah Administrasi dilakukan dengan pertimbangan:
                                          1.            untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Penjelasan UUD 1945

                                          2.            untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota serta melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan
                                          3.            untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.
                  h.            Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban dari pada hak, maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah.
Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan.


Penje;asan UUD 1945

C.    Pengertian Otonomi Daerah Menurut UU No.22 Tahun 1999
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam Undang-undang ini juda dikatakan secara eksplisit bahwa unit pemerintahan yang meleksanakan otonomi didaerah adalah tingkat Kabupaten atau Kota. Namun pemerintah menggunakan masa transisi untuk mengalihkan kewenangan pemerintahannya secara bertahap, agar pada waktunya asas desentralisasi dan dekonsentrasi dapat terlaksana penuh. Peraturan pemerintah mengenai kewenangan, yang didefinisikan dalam bentuk kewenangan pemerintah oleh Pusat, Provinsi, dan Kabupaten atau Kota telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.
Meskipun antar-Daerah kewenangan tersebut disepakati seragam namun dalam pelaksanaannya disesuaikan sendiri dan akan berubah dari waktu ke waktu. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) diberi peran untuk memberikan berbagai pertimbangan mengenai pemerintahan, organisasi, aset fisik, personalia, dan perimbangan keuangan.





Kaloh,DR.J.Mencari Bentuk Otonomi Daerah.Jakarta : Rineka cipta.2002., hal. 47
D.    Konsep Dasar UU No. 22 Tahun 1999

1.      Membesarnya kewenangan dan tanggung jawab daerah otonomi.
2.      Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali 6 kewenangan (Hankam, Moneter, Fiskal, Luar Negeri, Agama, dan Peradilan).
3.      Kewenangan tyang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian.
4.      Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif meningkatnya peran masyarakat dan legeslatif.

Inti pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreatifitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong otoaktifitas untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri.
Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi dari bawah, maka rakyat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui keputusan politik melainkan yang utama adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Hal itu dapat diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah guna mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya, sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya. Kewenangan artinya keleluasaan menggunakan dana, baik yang berasal dari daerah sendiri maupun dari pusat sesuai dengan keperluan daerahnya tanpa campur tangan pemerintrah pusat keleluasaan untuk berprakarsa, memilih alternatif, menentukan prioritas, dan mengambil keputusan untuk kepentingan daerahnya, keleluasaan untuk memperoleh dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang memadai, yang berdasarkan atas kriteria obyektif dan adil.


Kaloh,DR.J.Mencari Bentuk Otonomi Daerah.Jakarta : Rineka cipta.2002., hal. 57-58
E.     Prinsip-prinsip Otonomi Daerah
1.      Perubahan desain otonomi dari perspektif bertingkat menjadi berjenis.
Provinsi dan kabupaten atau kota masing-masing adalah daerah otonom yang sederajat. Tetapi fokus pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada kabupaten atau kota, karena keduanya lebih dekat ke masyarakat. Dengan demikian otonomi luas, utuh dan bulat ada pada daerah kabupaten atau kota. Sementara itu provinsi dijadikan daerah otonomi terbatas. Dalam hal ini, provinsi masih merangkap sebagai wilayah administrasi atau menjadi wakil pemerintahan pusat, sehingga provinsi dapat berperan sebagai pengikat hubungan pusat dan daerah dalam rangka mempertahankan keutuhan negara kesatuan. Sedangkan kabupaten atau kota sepenuhnya menjadi daerah otonom, tidak dirangkap lagi dengan wilayah administrasi

2.      Kelurahan dan kecamatan diubah menjadi perangkat daerah otonom pada kabupaten atau kota.
Dengan demikian, di dalam lingkungan daerah otonom tidak terdapat lagi kantong-kantong dekonsentrasi, baik yang bersifat teritorial maupun yang bersifat teknis atau sektoral, kecuali untuk ke enam bidang yang menjadi wewenang pemerintah pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama. Artinya, kantor-kantor departemen yang selama ini “menjamur” di daerah dilikuidasi dan diganti dengan dinas-dinas otonom yang berada langsung dibawah komando kepala daerah.

3.      Otonomi desa yang dijamin dalam konstitusi Undang-undang dasar 1945 dihidupkan kembali.
       Dalam konteks ini, desa diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan susunan asli dan asal-usulnya. Jadi, desa tidak lagi diseragamkan formatnya dan menjadi bawahan camat. Tetapi desa-desa yang berada dalam wilayah kota dijadikan kelurahan demi memudahkan warga kota. Dengan begitu lurah dengan perangkatnya tidak dipilih oleh masyarakat tetapi diangkat dari pegawai negeri sipil. Demikian pula biaya operasionalnya disediakan dri APBD kota setempat.

Djohan, djohermansyah, Kebijakan Otonomi Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003,  hal 15-16.

4.      Struktur pemerintahan daerah dirubah, tidak lagi terdiri dari kepala daerah dan DPRD, tetapi kepala daerah dan perangkat daerah.

Dengan begitu, DPRD sebagai lembaga legeslatif tidak dimasukkan kedalam unsur pemerintah daerah atau dipisahkan. Dengan adanya pemisahan secara struktural antara lembaga legeslatif dengan lembaga eksekutif, pihak eksekutif tidak bisa lagi mendominasi legeslatif. Hubungan antara eksekutif dengan legeslatif akan saling (checks and balances). Eksekutif akan meningkat akuntabilitasnya kepada rakyat lewat DPRD sebagai lembaga legelatif. Dan DPRD sendiri seiring dengan perluasan hak-haknya akan menjadi lebih powerfull. Lebih-lebih lagi dengan telah dugunakannya sistem proporsional bernuansa distrik untuk memilih anggota DPRD pada pemilu Juni 1999, kemudian diberikannya hak penyidikan (investigative power) dan hak “subpoena” kepada DPRD dan diwajibkan kepala daerah menyampaikan pertanggung jawabannya setiap tahun kepada DPRD, serta dapat diberhentikannya kepala daerah oleh DPRD.

5.      Sistem pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang didasarkan kepada bentuk subsidi daerah otonom (SDO) dan inpres diubah menjadi bentuk bagi hasil pajak, bukan pajak, dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.

Persentase bagi hasil ditetapkan dalam undang-undang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (UU No.25 Tahun 1999), dimana bagian yang diperoleh daerah lumayan besar dan bagian pusat sendiri mampu untuk membiayai overhead-costnya, membayar utang luar negeri, dan membantu daerah-daerah otonom yang minus. Di samping itu, dengan besarnya wewenang ditangan daerah, daerah akan berpeluang menggali restribusi dan pajak daerah tanpa kekangan dari pusat (desentralisasi fiskal) sesuai prinsip function follows money.



Djohan, djohermansyah, Kebijakan Otonomi Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003,  hal 16-17.


6.      Sistem pengawasan dalam hubungan pusat dan daerah lebih ditekankan pada pengawasan represif

Dengan pemerintah daerah hanya bertindak jika daerah nyata-nyata melakukan pelanggaran.Hal ini dimaksudkan untuk lebih memberi kebebasan pada pemerintahan daerah otonom dalam mengembangkan kewenangan otonominya secara lebih inovatif dan kreatif. Misalnya peraturan daerah yang telah disetujui oleh DPRD dan ditanda tangani oleh kepala daerah dapat langsung diberlakukan tanpa meminta persetujuan pemerintah pusat.

7.      Hubungan kepala daerah dengan borokrasi atau perangkat daerah dirasionalkan, dari multi-gate ke one-gate accuntability.

Pertanggung jawaban dinas-dinas dan lembaga-lembaga teknis sekarang tidak langsung kepada kepala daerah tetapi melalului sekretaris daerah (sekda). Sekda menjadi semacam CAO (chief administrative officer) yang secara profesional menangani tugas-tugas birokrasi sesuai kebijakan kepala daerah dengan dibantu oleh para asisten. Kepala daerah sendiri tidak perlu membuang waktunya yang berharga untuk mengurusi kerja teknis puluhan instansi daerah, tetapi bisa lebih berkonsentrasi memikirkan kebijakan-kebijakan strategis. Sekaligus lewat cara ini politisasi dapat dihindari. Aparatur pemerintah daerah menjadi lebih profesional dan netral dari politik.

Jadi, dilihat dari segi isi maka boleh dikatakan sebenarnya format otonomi daerah yang dianut dan tercantum dalam Undang-undang No.22 Tahun 1999 telah mengarah pada devolusi, yaitu bentuk terkuat dari penyelenggaraan desentralisasi (strong decentralization), yang kalau tidak hati-hati bisa mengganggu integrasi bangsa.


Djohan, djohermansyah, Kebijakan Otonomi Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003,  hal 17-18.
8.      Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
9.      Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
10.  Yang dapat menjadi Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat : (a) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah, (c) Tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dinyatakan dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri, (d) Berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA dan atau sederajat, (e) Berumur sekurang-kurangnya 30 tahun, (f) Sehat jasmani dan rohani, (g) Nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya, (h) Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, (i) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri, (j) Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya, (k) Menyerahkan daftar kekayaan pribadi, (l) Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.
11.  Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan , pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
12.  Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Tehnis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah.

F.     Partisipasi masyarakat dalam perumusan dan melaksanakan kebijakan publik di daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999.

Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance, yakni korelasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kekuasaan kewenngan dan kebijaksanaan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumber daya) publik pada masyarakat. Sedangkan di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan hak politik, kekuatan masa dan kebutuhan hidup, dll. Dengan demikian partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being.
Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi menabur pemerintahan yang otoriter dan korup, dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan, atau penguatan peran. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengefektifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat.
Dalam konteks governance, partisipasi menempatkan pada posisi yang sebenarnya Pertama; masyarakat bukanlah hamba (client) melainkan sebagai warga negara (citizen). Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara total, maka konsep warga negara menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi yang utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Kedua; masyarakat bukan dalam posisi yang diperintah tetapi sebagai partner pemerintah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Ketiga: partisipasi bukanlah pemeberian pemerintah tetapi sebagai hak warga negara. Keempat: masyarakat bukan sebagai sekedar objek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah, tetapi sebagai aktor atau subjek yang aktif menentukan kebijakan.



Makna subtantif yang berikutnya adalah kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja menyangkut kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan resiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan masyarakat melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap resiko-resiko atas tindakan mereka.

Menurut Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi bidang berikut, yakni:
1.      Pekerjaan umum
2.      Kesehatan
3.      Pendidikan dan kebudayaan
4.      Pertanian
5.      Perhubungan
6.      Industry dan perdagangan
7.      Penanaman modal
8.      Lingkungan hidup
9.      Pertahanan
10.  Koperasi, dan’
11.  Tenaga kerja
Bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah kewenangan dalam bidang berikut, yakni:
1.      Politik luar negeri
2.      Pertahanan keamanan
3.      Peradilan
4.      Moneter dan fiskal, serta
5.      Agama dan kewenangan bidang lain.


Seperti diuraikan diatas bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan DPRD sebagai penjabaran peraturan perundangan yang lebih tinggi. Peraturan daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah dan DPRD tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain, dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Untuk melaksanakan peraturan daerah , kepala daerah menetapkan keputusan kepala daerah.
Keputusan kepala daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan peraturan daerah.
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bersifat mengatur diundangkan dengan menempatkannya dalam lembaran daerah. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah termasuk kebijakan public, artinya peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut menyangkut dan diperuntukkan untuk orang banyak atau masyarakat luas. Karena kebijakan publik tersebut diperuntukannya untuk masyarakat luas, maka masyarakat wajib berperan serta dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut.
Apabila kebijakan publik itu hanya dibuat oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat dalam perumusan dan pelaksaannya, kebijakan publik itu akan dapat meninbulkan dampak negative, antara lain:
1.      Akan menimbulkan protes atau penolakan dari masyarakat.
2.      Kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan baik
3.      Bisa menimbulkan  kecemasan pemerintah, serta]
4.      Turunnya kepercayaan  masyarakat pada pemerintah





G.    Kendala atau ketimpangan yang sering terjadi dalam penerapan kebijakan otonomi daerah :
  1. High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi daerah dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”
  2. High Cost Economic dalam bentuk KKN
  3. Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan
  4. Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset, melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD
  5. Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian berkelanjutan
  6. Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya
  7. Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan
  8. Bangkitnya egosentrisme
  9. Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.
  10. Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.
H.    Upaya pejabat daerah untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi :
1.      Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat terdistribusi ke daerah
2.      Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
3.      Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur
4.      Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat
5.      Dan yang menjadi prioritas adalah pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip otonomi daerah.


I.       Tujuan Otonomi Daerah
Desentralisasi merupakan simbol adanya kepercayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam konsep desentralisasi, peran pemerintah pusat adalah mengawasi, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Tujuan yang hendak dicapai dengan diterapkannya otonomi daerah yaitu untuk memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air secara merata tanpa ada pertentangan, sehingga pembangunan daerah merupakan pembangunan nasional secara menyeluruh.
Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan setiap kegiatannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah diharapkan mampu membuka peluang memajukan daerahnya dengan melakukan identifikasi sumber-sumber pendspatan dan mampu menetapkan belanja daerah secara efisien, efektif, dan wajar.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka konsep otonomi yang diterapkan adalah :
1.      Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintah pusat dalam hubungan domestik kepada pemerintan daerah. Kecuali untuk bidang politik luar negeri, pertahanan, keagamaan, serta bidang keuangan dan moneter. Dalam konteks ini, pemerintah daerah terbagi atas dua ruang lingkup, yaitu daerah kabupaten dan kota, dan propinsi.
2.      Penguatan peran dprd sebagai representasi  rakyat.
3.      Peningkatan efektifitas fungsi pelayanan melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki, serta lebih responsif terrhadap kebutuhan daerah.
4.      Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengatuan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan daerah. Pembagian pendapatan dari sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi.
5.      Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah serta pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya  pemberdayaan  masyarakat.
6.      Perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah yang merupakan suatu system pembiayayaan  penyelenggaraan pemerintah yang mencakup  pembagian keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah serta pemerataan antar daerah secara proposional.

http://saifoel.multiply.com/item/. Senin, 20 Juni 2011
BAB III
ANALISIS

A.    Kebaikan yang ada pada UU. No. 22 Tahun 1999
Otonomi daerah  merupakan suatu bentuk perubahan dari masa orde baru yang waktu itu dipimpin oleh presiden soeharto. Masa pemerintahan beliau sangat terkenal dengan pemerintahan sentralistiknya, yang menempatkan pemerintah pusat (Jakarta) sebagai titik yang paling dominan dalam pembangunan dinegara Republik Indonesia ini dimasa orde baru tersebut. Namun dimasa Reformasi ini muncul suatu kebijakan UU tentang otonomi daerah yang dituangkan dalam UU. No. 22 Tahun 1999 Tentang pemerintahan daerah yang masa itu Indonesia dipimpin oleh Presiden sementara yaitu B.J. Habibie. Munculnya UU ini membuka jalan bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar prakarsa, kreatifitas dan peran serta masyarakat dalam rangka mengembangkan, memajukan, serta melaksanakan pembangunan dan memajukan daerah mereka sendiri. Hal ini juga mendukung peleksanaan demokrasi di lapisan bawah dan mendorong daerah untuk melaksanakan sendiri apa yang diaggap penting dan baik dalam  perkembangan lingkungan mereka.
 Dalam UU No. 22 Tahun 1999 ini terlihat jelas pembagian kewenangan antara pemerintahan pusat dengan daerah yang berdasarkan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Sehingga pemerintah daerah bisa leluasa mengembangkan daerahnya tanpa ada pengaruh atau intervensi dari luar. Namun walaupun diberi kewenangan pemerintah daerah khususnya daerah otonom harus mempertanggung jawabkan kinerjanya untuk keberhasilan maupun kegagalannya. Sehingga hal ini dapat membuat pemerintah pusat lebih relaks, cukup dengan memberi dukungan serta mengawasi kinerja pemerintah daerah tersebut.
Undang-undang ini juga memberi penguatan kepada lembaga legeslatif melalui penajaman fungsi dan perluasan hak-haknya, yang mana DPRD sekarng mempunyai fungsi membentuk atau membuat peraturan daerah (legislasi), menetapkan APBD (budget) serta melaksanakan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Sehingga pihak eksekutif harus mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada eksekutif.


B.     Permasalahan yang akan muncul

1.    Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten atau Kota

Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Provinsi mempunyai kedudukan sebagai daerah dekonsentrasi yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintahan Pusat. Ketentuan yang kurang jelas ini bisa menyebabkan kekurang senangan Pemerintahan Provinsi melihat penempatan otonomi pada Kabupaten atau Kota. Karena peran Gubernur dalam UU tersebut tidak begitu jelas, sehingga Gubernurpun bisa menjadi bingung terhadap apa yang akan dilakukannya. Hal ini terjadi karena dalam UU telah dinyatakan daerah Provinsi tidak memiliki hubungan yang hirarkis lagi dengan Pemerintahan daerah Kabupaten atau Kota. Dampak psikologis dari ketentuan ini dapat berakibat daerah Kabupaten atau Kota kurang bahkan tidak lagi menghormati keberadaan Gubernur sebagai Wakil Pemerintahan di Daerah.

Dengan demikian Kabupaten atau Kota dalam hal ini bisa berhubungan langsung dengan Pemerintahan Pusat tanpa melalui Pemerintahan Provinsi terlebih dahulu. Namun jika dipikir secara logita hal ini sebenarnya tentu akan menyulitkan pemerintah pusat, bagaimana tidak jika seluruh Kabupaten atau Kota berkoordinasi langsung dengan Pemerintah Pusat, tentu akan membuat Pemerintahan Pusat sangat kewalahan mengatasinya. Dan dari itu Gubernurpun pasti akan mempertanyakan tentang kewengan yang dimikinya, karena apabila hal di atas terjadi pasti Pemerintahan Provinsi merasa diabaikan dan tidak memiliki kewengan yang jelas.

Untuk menghindari hal diatas Pemerintah Pusat harus memperjelas hubungan dan fungsi Gubernur  agar tidak terjadi perselisihan antara Pemerintah Kabupaten atau Kota dengan Pemerintahan Provinsi. Provinsi seharusnya juga berwenang mengatur dan mengurus pemerintah Kabupaten atau Kota dalam memajukan daerah mereka, agar Pemerintah Provinsi memiliki andil yang jelas. Sehingga hal ini juga bisa menghindari tumpang tindih atau perselisihan antara Pemerintahan Kabupaten atau Kota dengan Pemerintah Provins seperti yang telah dicontohkan di atas.




2.      Pemerintah Daerah dan DPRD

Dalam UU ini DPRD terpisah dengan Pemerintahn Daerah, hal ini bisa mengakibatkan DPRD memposisikan diri berseberangan dengan Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. DPRD mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Kepala Daerah, namun walaupun memiliki kedudukan yang sama Kepala Daerah mempertanggung jawabkan pelaksanakan kebijakan  Daerah kepada DPRD. Hala ini sebenarnya memberi peluang untuk terciptanya hubungan yang tidak sehat antara Kepala Daerah dengan DPRD. Walaupun pada prinsipnya sebagaimana telah dijelaskan dalam UU N0. 22 Tahun 1999 memberikan peluang kepada DPRD dalam menjalani pengawasan kepada Kepala Daerah agar tidak bertindak berlebihan. Dan DPRD juga bisa mengberhentikan Kepala Daerah apabila perbaikan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Tahunan ditolak.

Hal ini bisa menjadikan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) sebagai sarana tawar menawar antara DPRD dengan Kepla Daerah yang berusaha menghindari dari proses atau keputusan penolakan LPJ. Sehingga untuk menghindari penolakan LPJ tersebut, kepala Daerah pasti berusaha melayani bahkan bisa jadi menyogok anggota DPRD agar dapat mempertahankan posisinya sebagai Kepala Daerah, bahkan bisa jadi Kepala Daerah menggunakan keuangan daerah yang tentunya dapat merugikan daerah yang dipimpinnya.

Oleh karena itu, mekanisme penolakan LPJ harus ditinjau kembali agar tidak terciptanya kolusi, korupsi, dan nepotisme, maka ada baiknya Kepala Daerah yang ditolak pertanggung jawabannya diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang hal-hal yang menjadi dasar penolakan pertanggung jawaban dalam jangka waktu tertentu. Kemudian Kepala Daerah baru dapat diusulkan untuk diberhentikan oleh Presiden.





BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Otonomi daerah merupakan suatu kadaan untuk mewujudkan kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri tanpa intervensi pihak lain. Dalam hal ini otonomi daerah sering dikatakan sebagai konsep desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Pemberlakuan otonomi daerah khususnya dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah perlu dicermati kembali. Karena hal ini hanya memindahkan potensi korupsi dari Pusat ke Daerah, yang mana otonomi daerah ini juga memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur kolusi, korupsi, dan nepotisme di daerah. Disamping itu arogansi DPRD semakin tidak jelas karena mereka merupakan elite lokal yang berpengaruh, karena perannya itu ditengah demokrasi yang sepenuhnya belum terlaksana ditingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik yang baru yang sangat rentan terhadap korupsi. Dan dalam pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).

Selain itu otonomi daerah juga memiliki dampak positif yaitu memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.




B.     Saran
Penjelasan dalam UU ini tentang kedudukan dan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintahan Provinsi harus lebih diperjelas. Karena hal ini dapat menimbulkan perselisihan antara Pemerintah Kabupaten atau Kota dengan Pemerintahan Provinsi yang nantinya jika keharmonisan keduanya rusak bakal membuat kewalahan Pemerintahan Pusat, untuk itu Pemerintah Pusat harus segera memperjelas tentang hal ini.
Kemudian fungsi dan peran DPRD juga harus ditinjau kembali agar tidak terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme di tingkat daerah yang nantinya bakal sangat mengganggu pembangunan daerah tersebut.















Daftar Pustaka

Kaloh,DR.J.Mencari Bentuk Otonomi Daerah.Jakarta : Rineka cipta.2002.
Djohan, djohermansyah, Kebijakan Otonomi Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003.
Penjelasan UUD 1945
http://saifoel.multiply.com/item/. Senin, 20 Juni 2011

1 komentar: