BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
masa orde baru atau sebelum tahun 1998
segala bentuk kebijakan dinegara Indonesia sangat sentralistik dan semua
daerah di negara ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat
atau daerah sangat bergantung pada Jakarta serta didikte oleh pemerintahan
pusat. Dan bisa dikatakan pada masa Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal,
yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah). Daerah yang
mempunyai kekayaan sumber daya alam tidak bisa dinikmati oleh masyarakat daerah
tersebut, akan tetapi keuntungan produksinya ditarik atau diambil alih oleh
pemerintah pusat dan dibagi-bagikan kepada elite pemerintahan pusat di Jakarta.
Hal ini mengakibatkan pembangunan tidak merata, sangat terlihat jelas
ketimpangan pembangunan di daerah dengan pusut (Jakarta).
Keinginan
pemerintah untuk melaksanakan otonomi daerah kalau kita kita telusuri
kebelakang sebenarnya pemerintah sudah memiliki komitmen meskipun bisa
dikatakan masih rendah dan berjalan tidak tentu arah. Hal ini bisa dilihat
sejak dilahirkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintah Daerah, yang mana dalam pasal 11-nya telah ditegaskan bahwa titik
berat otonomi diletakkan pada daerah tingkat II, dan yang menjadi hambatan
dalam pelaksanaannya adalah pemerintah saat itu tidak kunjung mengeluarkan PP
untuk melaksanakan amanah pasal tersebut. Sehingga dengan tidak adanya aturan
main yang jelas, otonomi daerah berjalan sesuai keinginan atau kehendak pemimpin
negeri yang menjabat saat itu. Sehingga hal ini mengakibatkan, asas
dekonsentrasi dan asas tugas pembantu berjalan tidak serasi dengan asas
desentralisasi yang menjadi landasan atau pondasi awal dalam prinsip otonomi
daerah.
Djohan, djohermansyah, Kebijakan Otonomi
Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003, hal 1-2.
Setelah berakhirnya
masa orde baru masuklah negara Indonesia pada masa reformasi, pada masa ini
yang ditandai oleh bangkitnya demokrasi, cara-cara pengelolaan pemerintahan ala
Orde Baru yang mana negara menjadi titik sentral yang menentukan perkembangan
pembangunan di daerah hrus segara diakhiri. Desentralisasi kewenangan dari
pemerintah pusat atau pemerintah tingkat atasnya kepada pemerintah daerah
secara lebih bermakna merupakan salah satu agenda penting yang perlu diwujudkan
pada masa reformasi ini.
Sudah waktunya bila
kini pemerintah daerah diberi kepercayaan untuk tampil secara kreatif memberi
arti dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Pemerintah pusat hanya memberi
bimbingan dan memfasilitasi apa-apa yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Jika pemerintah daerah diberi kepercayaan dan otoritas
untuk menyelenggaraakan sebagian besar urusan domestik, bertanggung jawab atas
keberhasilan dan kegagalannya, maka pemerintah pusat bisa lebih santai, cukup
hanya dengan mengawasi dan memberi dukungan saja. Dan dengan begitu, pemerintah
pusat lebih banyak tersedia waktu untuk berkonsentrasi kepada urusan yang
memerlukan kebijakan nasional dan urusal-urusan strategis untuk kompetisi
global.
Pemikiran-pemikiran
diatas telah menciptakan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru (
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang ditetapkan tanggal 7 Mei 1999). Berbagai
pengaturan yang lebih progresif tentang otonomi daerah, di bandingkan Undang-Undang
No.5 Tahun 1974 telah ditetapkan.
Dari berbagai
penjelasan diatas membuat saya tertarik untuk membahas makalah ini dengan judul
”Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah”.
Djohan, djohermansyah, Kebijakan
Otonomi Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003, hal 13-14.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
singkat UU No.22 Tahun 1999
Sebelum
masuk kepada masa reformasi ini, dahulu negara Indonesia semasa zaman orde baru
kekuasaan pemerintah pusat sangat sentralistik. Hal ini banyak mendapat protes
dari berbagai kalangan didaerah seperti daerah aceh dan papua yang menuntut
merdeka dan ingin berpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dan pada
tahun 1998 masa orde baru dibawah kepemimpinan soeharto berakhir, kemudian
masuklah negara Indonesi ke masa reformasi di bawah pimpinan B.J. Habibie.
Pada
awal masa reformasi ini lahirlah UU Otonomi Daerah khususnya (UU No.22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah), dengan lahirnya UU ini keinginan provinsi
seperti aceh dan papua untuk berpisah dengan negara Republik Indonesia semakin
kuat, bahkan ada berbagai daerah yang ingin melakukan pemekaran provinsi atau
kabupaten dalam upaya membangun daerah mereka kearah yang lebih baik. Dalam hal
tentang keinginan daerah bagaimana telah disebut diatas terdapat pro dan kontra
sehingga menaikkan suhu politik di Indonesia.
UU
No. 22 Tahun 1999 lahir didorong oleh tuntutan daerh tadi yang mana
menginginkan kebebasan di era kebebasan politik ini, dan juga didorong oleh
keinginan pemerintah pusat untuk mengatasi masalha disintegrasi yang melanda
Indonesia. Jika dilihat ada beberapa ciri yang menonjol dari UU
ini, yaitu:
1. Demokrasi
dan demokratisasi.
2. Mendekatkan
pemerintah dengan rakyat.
3. Sistim
otonomi luas dan nyata.
4. Tidak
menggunakan sistim otonomi yang bertingkat.
5. Penyelenggaraan
tugas pemerintah di daerah dibiayai oleh anggaran belanja dan pendapatan negara
(APBN).
http://jurnal-politik.co.cc/kebijakan-otonomi-daerah-era-reformasi/ rabu 22 Juni 2011
B. Dasar Pemikiran
a.
Negara Republik Indonesia sebagai
negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945,
antara lain, menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam
penjelasan pasal tersebut, antara lain, dikemukakan bahwa "oleh karena
Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan
mempunyai Daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah
Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi
dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek
en locale rechtgemeensschappen) atau bersifat adminitrasi belaka, semuanya
menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang". Di daerah-daerah
yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di
daerah pun, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
b.
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar
1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah,
sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c.
Undang-undang ini disebut
"Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah" karena undang-undang ini
pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi.
Penjelasan UUD 1945
d.
Sesuai dengan Ketetapan MPR-RI Nomor
XV/MPR/1998 tersebut di atas, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada
Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
Pusat dan Daerah. Disamping itu, penyelenggaraan Otonomi Daerah juga
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
Daerah.
e.
Hal-hal yang mendasar dalam
undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan
peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, undang-undang
ini menempatkan Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 berkedudukan sebagai
Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya Tingkat II. Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota tersebut berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan
dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan
aspirasi masyarakat.
f.
Propinsi Daerah Tingkat I menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam undang-undang ini dijadikan Daaerah
Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah
Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan
kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.
g.
Pemberian kedudukan Propinsi sebagai
Daerah Otonom dan sekaligus sebagai Wilayah Administrasi dilakukan dengan
pertimbangan:
1.
untuk memelihara hubungan yang
serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
Penjelasan UUD 1945
2.
untuk menyelenggarakan Otonomi
Daerah yang bersifat lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota serta melaksanakan
kewenangan Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota; dan
3.
untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas
dekonsentrasi.
h.
Dengan memperhatikan pengalaman
penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih
merupakan kewajiban dari pada hak, maka dalam undang-undang ini pemberian
kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada
asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Yang
dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah.
Yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam
mencapai tujuan.
Penje;asan UUD 1945
C.
Pengertian
Otonomi Daerah Menurut UU No.22 Tahun 1999
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam Undang-undang ini juda dikatakan secara eksplisit
bahwa unit pemerintahan yang meleksanakan otonomi didaerah adalah tingkat
Kabupaten atau Kota. Namun pemerintah menggunakan masa transisi untuk
mengalihkan kewenangan pemerintahannya secara bertahap, agar pada waktunya asas
desentralisasi dan dekonsentrasi dapat terlaksana penuh. Peraturan pemerintah
mengenai kewenangan, yang didefinisikan dalam bentuk kewenangan pemerintah oleh
Pusat, Provinsi, dan Kabupaten atau Kota telah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.
Meskipun antar-Daerah kewenangan tersebut disepakati
seragam namun dalam pelaksanaannya disesuaikan sendiri dan akan berubah dari
waktu ke waktu. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) diberi peran untuk
memberikan berbagai pertimbangan mengenai pemerintahan, organisasi, aset fisik,
personalia, dan perimbangan keuangan.
http://iyano.wordpress.com/otonomi-daerah/ kamis,23 juni 2011
Kaloh,DR.J.Mencari
Bentuk Otonomi Daerah.Jakarta : Rineka cipta.2002., hal. 47
D. Konsep Dasar UU No. 22 Tahun 1999
1.
Membesarnya kewenangan dan tanggung jawab daerah otonomi.
2.
Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang
pemerintahan kecuali 6 kewenangan (Hankam, Moneter, Fiskal, Luar Negeri, Agama,
dan Peradilan).
3.
Kewenangan tyang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pengendalian.
4.
Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif meningkatnya
peran masyarakat dan legeslatif.
Inti
pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah
(discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar
prakarsa, kreatifitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka
mengembangkan dan memajukan daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak hanya
berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong
otoaktifitas untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi
lingkungan sendiri.
Dengan
berkembangnya pelaksanaan demokrasi dari bawah, maka rakyat tidak saja dapat
menentukan nasibnya sendiri melalui keputusan politik melainkan yang utama
adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Hal itu dapat diwujudkan
dengan memberikan kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah guna
mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya, sesuai dengan kepentingan
dan potensi daerahnya. Kewenangan artinya keleluasaan menggunakan dana, baik
yang berasal dari daerah sendiri maupun dari pusat sesuai dengan keperluan
daerahnya tanpa campur tangan pemerintrah pusat keleluasaan untuk berprakarsa,
memilih alternatif, menentukan prioritas, dan mengambil keputusan untuk
kepentingan daerahnya, keleluasaan untuk memperoleh dana perimbangan keuangan
pusat dan daerah yang memadai, yang berdasarkan atas kriteria obyektif dan
adil.
Kaloh,DR.J.Mencari
Bentuk Otonomi Daerah.Jakarta : Rineka cipta.2002., hal. 57-58
E. Prinsip-prinsip Otonomi Daerah
1.
Perubahan desain otonomi dari perspektif bertingkat menjadi berjenis.
Provinsi
dan kabupaten atau kota masing-masing adalah daerah otonom yang sederajat.
Tetapi fokus pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada kabupaten atau kota,
karena keduanya lebih dekat ke masyarakat. Dengan demikian otonomi luas, utuh
dan bulat ada pada daerah kabupaten atau kota. Sementara itu provinsi dijadikan
daerah otonomi terbatas. Dalam hal ini, provinsi masih merangkap sebagai wilayah
administrasi atau menjadi wakil pemerintahan pusat, sehingga provinsi dapat
berperan sebagai pengikat hubungan pusat dan daerah dalam rangka mempertahankan
keutuhan negara kesatuan. Sedangkan kabupaten atau kota sepenuhnya menjadi
daerah otonom, tidak dirangkap lagi dengan wilayah administrasi
2.
Kelurahan dan kecamatan diubah menjadi perangkat daerah otonom pada
kabupaten atau kota.
Dengan demikian, di dalam lingkungan daerah otonom tidak terdapat lagi
kantong-kantong dekonsentrasi, baik yang bersifat teritorial maupun yang
bersifat teknis atau sektoral, kecuali untuk ke enam bidang yang menjadi
wewenang pemerintah pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, serta agama. Artinya, kantor-kantor departemen
yang selama ini “menjamur” di daerah dilikuidasi dan diganti dengan dinas-dinas
otonom yang berada langsung dibawah komando kepala daerah.
3.
Otonomi desa yang dijamin dalam konstitusi Undang-undang dasar 1945
dihidupkan kembali.
Dalam konteks ini, desa diberi kewenangan
untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan susunan asli dan
asal-usulnya. Jadi, desa tidak lagi diseragamkan formatnya dan menjadi bawahan
camat. Tetapi desa-desa yang berada dalam wilayah kota dijadikan kelurahan demi
memudahkan warga kota. Dengan begitu lurah dengan perangkatnya tidak dipilih
oleh masyarakat tetapi diangkat dari pegawai negeri sipil. Demikian pula biaya
operasionalnya disediakan dri APBD kota setempat.
Djohan, djohermansyah, Kebijakan Otonomi
Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003,
hal 15-16.
4. Struktur
pemerintahan daerah dirubah, tidak lagi terdiri dari kepala daerah dan DPRD,
tetapi kepala daerah dan perangkat daerah.
Dengan begitu, DPRD sebagai lembaga
legeslatif tidak dimasukkan kedalam unsur pemerintah daerah atau dipisahkan.
Dengan adanya pemisahan secara struktural antara lembaga legeslatif dengan
lembaga eksekutif, pihak eksekutif tidak bisa lagi mendominasi legeslatif.
Hubungan antara eksekutif dengan legeslatif akan saling (checks and balances).
Eksekutif akan meningkat akuntabilitasnya kepada rakyat lewat DPRD sebagai
lembaga legelatif. Dan DPRD sendiri seiring dengan perluasan hak-haknya akan
menjadi lebih powerfull. Lebih-lebih lagi dengan telah dugunakannya sistem
proporsional bernuansa distrik untuk memilih anggota DPRD pada pemilu Juni
1999, kemudian diberikannya hak penyidikan (investigative power) dan hak
“subpoena” kepada DPRD dan diwajibkan kepala daerah menyampaikan pertanggung
jawabannya setiap tahun kepada DPRD, serta dapat diberhentikannya kepala daerah
oleh DPRD.
5. Sistem
pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang didasarkan kepada bentuk subsidi
daerah otonom (SDO) dan inpres diubah menjadi bentuk bagi hasil pajak, bukan
pajak, dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan dana
alokasi khusus.
Persentase bagi hasil ditetapkan dalam
undang-undang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (UU No.25
Tahun 1999), dimana bagian yang diperoleh daerah lumayan besar dan bagian pusat
sendiri mampu untuk membiayai overhead-costnya, membayar utang luar negeri, dan
membantu daerah-daerah otonom yang minus. Di samping itu, dengan besarnya
wewenang ditangan daerah, daerah akan berpeluang menggali restribusi dan pajak
daerah tanpa kekangan dari pusat (desentralisasi fiskal) sesuai prinsip
function follows money.
Djohan,
djohermansyah, Kebijakan Otonomi Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003,
hal 16-17.
6. Sistem
pengawasan dalam hubungan pusat dan daerah lebih ditekankan pada pengawasan
represif
Dengan pemerintah daerah hanya bertindak
jika daerah nyata-nyata melakukan pelanggaran.Hal ini dimaksudkan untuk lebih
memberi kebebasan pada pemerintahan daerah otonom dalam mengembangkan
kewenangan otonominya secara lebih inovatif dan kreatif. Misalnya peraturan
daerah yang telah disetujui oleh DPRD dan ditanda tangani oleh kepala daerah
dapat langsung diberlakukan tanpa meminta persetujuan pemerintah pusat.
7. Hubungan
kepala daerah dengan borokrasi atau perangkat daerah dirasionalkan, dari
multi-gate ke one-gate accuntability.
Pertanggung jawaban dinas-dinas dan
lembaga-lembaga teknis sekarang tidak langsung kepada kepala daerah tetapi
melalului sekretaris daerah (sekda). Sekda menjadi semacam CAO (chief
administrative officer) yang secara profesional menangani tugas-tugas birokrasi
sesuai kebijakan kepala daerah dengan dibantu oleh para asisten. Kepala daerah
sendiri tidak perlu membuang waktunya yang berharga untuk mengurusi kerja
teknis puluhan instansi daerah, tetapi bisa lebih berkonsentrasi memikirkan
kebijakan-kebijakan strategis. Sekaligus lewat cara ini politisasi dapat
dihindari. Aparatur pemerintah daerah menjadi lebih profesional dan netral dari
politik.
Jadi, dilihat dari segi isi maka boleh
dikatakan sebenarnya format otonomi daerah yang dianut dan tercantum dalam
Undang-undang No.22 Tahun 1999 telah mengarah pada devolusi, yaitu bentuk
terkuat dari penyelenggaraan desentralisasi (strong decentralization), yang
kalau tidak hati-hati bisa mengganggu integrasi bangsa.
Djohan, djohermansyah, Kebijakan
Otonomi Daerah 1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003, hal 17-18.
8. Peraturan
Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman
yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
9. Daerah dibentuk
berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah
lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan
dengan undang-undang.
10. Yang dapat
menjadi Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia dengan
syarat-syarat : (a) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Setia dan taat
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah, (c) Tidak
pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dinyatakan dengan surat
keterangan Ketua Pengadilan Negeri, (d) Berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA
dan atau sederajat, (e) Berumur sekurang-kurangnya 30 tahun, (f) Sehat jasmani
dan rohani, (g) Nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya, (h) Tidak pernah
dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, (i) Tidak sedang dicabut hak
pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri, (j) Mengenal daerahnya dan
dikenal oleh masyarakat daerahnya, (k) Menyerahkan daftar kekayaan pribadi, (l)
Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.
11. Daerah
diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan , pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan
pemerintah.
12. Pengelolaan
kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk
badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten
sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain
DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri
dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Tehnis Daerah, Lembaga Staf
Teknis Daerah.
http://www.unisosdem.org/otonomi/uu22-prinsip.htm. kamis, 23 juni 2011
F. Partisipasi masyarakat dalam perumusan dan melaksanakan kebijakan publik
di daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999.
Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau
relasi ekonomi politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga
masyarakat berada dalam konteks governance, yakni korelasi antara negara
(pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kekuasaan kewenngan dan
kebijaksanaan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumber daya)
publik pada masyarakat. Sedangkan di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan
hak politik, kekuatan masa dan kebutuhan hidup, dll. Dengan demikian
partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar
pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being.
Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan
partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel,
transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi
menabur pemerintahan yang otoriter dan korup, dari sisi masyarakat, partisipasi
adalah kunci pemberdayaan, atau penguatan peran. Partisipasi memberikan ruang
dan kapasitas masyarakat untuk kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan
potensi dan prakarsa lokal, mengefektifkan peran masyarakat serta membangun
kemandirian masyarakat.
Dalam konteks governance, partisipasi menempatkan pada
posisi yang sebenarnya Pertama; masyarakat bukanlah hamba (client) melainkan
sebagai warga negara (citizen). Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara
total, maka konsep warga negara menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi
yang utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Kedua; masyarakat bukan dalam
posisi yang diperintah tetapi sebagai partner pemerintah dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan. Ketiga: partisipasi bukanlah pemeberian
pemerintah tetapi sebagai hak warga negara. Keempat: masyarakat bukan sebagai
sekedar objek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah, tetapi sebagai aktor
atau subjek yang aktif menentukan kebijakan.
Makna subtantif yang berikutnya adalah kontrol warga
masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait
dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol
eksternal. Artinya kontrol bukan saja menyangkut kapasitas masyarakat melakukan
pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan resiko) dan
tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan masyarakat melakukan penilaian
secara kritis dan reflektif terhadap resiko-resiko atas tindakan mereka.
Menurut Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999, bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota
meliputi bidang berikut, yakni:
1.
Pekerjaan umum
2.
Kesehatan
3.
Pendidikan dan kebudayaan
4.
Pertanian
5.
Perhubungan
6.
Industry dan perdagangan
7.
Penanaman modal
8.
Lingkungan hidup
9.
Pertahanan
10. Koperasi,
dan’
11. Tenaga kerja
Bidang
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah kewenangan dalam
bidang berikut, yakni:
1.
Politik luar negeri
2.
Pertahanan keamanan
3.
Peradilan
4.
Moneter dan fiskal, serta
5.
Agama dan kewenangan bidang lain.
http://dessypuspita.com/blog/otonomi-daerah/senin, 14 Juni 2011
Seperti
diuraikan diatas bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah
daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan DPRD sebagai penjabaran
peraturan perundangan yang lebih tinggi. Peraturan daerah yang ditetapkan oleh
kepala daerah dan DPRD tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan daerah lain, dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Untuk
melaksanakan peraturan daerah , kepala daerah menetapkan keputusan kepala
daerah.
Keputusan
kepala daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan peraturan daerah.
Peraturan
daerah dan keputusan kepala daerah yang bersifat mengatur diundangkan dengan
menempatkannya dalam lembaran daerah. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 Ayat (2)
UU No. 22 Tahun 1999. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah termasuk
kebijakan public, artinya peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut
menyangkut dan diperuntukkan untuk orang banyak atau masyarakat luas. Karena
kebijakan publik tersebut diperuntukannya untuk masyarakat luas, maka
masyarakat wajib berperan serta dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
tersebut.
Apabila
kebijakan publik itu hanya dibuat oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat
dalam perumusan dan pelaksaannya, kebijakan publik itu akan dapat meninbulkan
dampak negative, antara lain:
1.
Akan menimbulkan protes atau
penolakan dari masyarakat.
2.
Kebijakan tersebut tidak bisa
dilaksanakan dengan baik
3.
Bisa menimbulkan kecemasan
pemerintah, serta]
4.
Turunnya kepercayaan
masyarakat pada pemerintah
http://dessypuspita.com/blog/otonomi-daerah/senin, 14 Juni 2011
G. Kendala atau ketimpangan yang sering terjadi dalam penerapan kebijakan
otonomi daerah :
- High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi daerah dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”
- High Cost Economic dalam bentuk KKN
- Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan
- Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset, melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD
- Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian berkelanjutan
- Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya
- Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan
- Bangkitnya egosentrisme
- Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.
- Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.
H. Upaya pejabat daerah untuk mengatasi
ketimpangan yang terjadi :
1.
Pejabat harus dapat melakukan kebijakan
tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat terdistribusi ke daerah
2.
Pejabat harus melakukan pemberdayaan
politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan politik dan keberadaan
organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
3.
Pejabat daerah harus bisa
bertanggung jawab dan jujur
4.
Adanya kerjasama antara pejabat dan
masyarakat
5.
Dan yang menjadi prioritas adalah
pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip otonomi daerah.
http://cafe-ekonomi.blogspot.com/ulasan-mengenai-otonomi-daerah.html. senin, 20 juni 2011
I. Tujuan Otonomi Daerah
Desentralisasi merupakan simbol adanya kepercayaan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam konsep desentralisasi,
peran pemerintah pusat adalah mengawasi, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan
otonomi daerah. Tujuan yang hendak dicapai dengan diterapkannya otonomi daerah
yaitu untuk memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air secara merata
tanpa ada pertentangan, sehingga pembangunan daerah merupakan pembangunan
nasional secara menyeluruh.
Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri
dalam menentukan setiap kegiatannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah diharapkan mampu membuka peluang memajukan daerahnya dengan
melakukan identifikasi sumber-sumber pendspatan dan mampu menetapkan belanja
daerah secara efisien, efektif, dan wajar.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka konsep otonomi yang diterapkan adalah :
1.
Penyerahan sebanyak mungkin
kewenangan pemerintah pusat dalam hubungan domestik kepada pemerintan daerah.
Kecuali untuk bidang politik luar negeri, pertahanan, keagamaan, serta bidang
keuangan dan moneter. Dalam konteks ini, pemerintah daerah terbagi atas dua
ruang lingkup, yaitu daerah kabupaten dan kota, dan propinsi.
2.
Penguatan peran dprd sebagai
representasi rakyat.
3.
Peningkatan efektifitas fungsi
pelayanan melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki, serta
lebih responsif terrhadap kebutuhan daerah.
4.
Peningkatan efisiensi administrasi
keuangan daerah serta pengatuan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan
daerah. Pembagian pendapatan dari sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan
alam, pajak dan retribusi.
5.
Pengaturan pembagian sumber-sumber
pendapatan daerah serta pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk
menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya
pemberdayaan masyarakat.
6. Perimbangan
keuangan antara pusat dengan daerah yang merupakan suatu system
pembiayayaan penyelenggaraan pemerintah yang mencakup pembagian
keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah serta pemerataan antar daerah secara proposional.
http://saifoel.multiply.com/item/. Senin, 20 Juni 2011
BAB III
ANALISIS
A.
Kebaikan
yang ada pada UU. No. 22 Tahun 1999
Otonomi
daerah merupakan suatu bentuk perubahan
dari masa orde baru yang waktu itu dipimpin oleh presiden soeharto. Masa
pemerintahan beliau sangat terkenal dengan pemerintahan sentralistiknya, yang
menempatkan pemerintah pusat (Jakarta) sebagai titik yang paling dominan dalam
pembangunan dinegara Republik Indonesia ini dimasa orde baru tersebut. Namun
dimasa Reformasi ini muncul suatu kebijakan UU tentang otonomi daerah yang
dituangkan dalam UU. No. 22 Tahun 1999 Tentang pemerintahan daerah yang masa
itu Indonesia dipimpin oleh Presiden sementara yaitu B.J. Habibie. Munculnya UU
ini membuka jalan bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri atas
dasar prakarsa, kreatifitas dan peran serta masyarakat dalam rangka
mengembangkan, memajukan, serta melaksanakan pembangunan dan memajukan daerah
mereka sendiri. Hal ini juga mendukung peleksanaan demokrasi di lapisan bawah
dan mendorong daerah untuk melaksanakan sendiri apa yang diaggap penting dan
baik dalam perkembangan lingkungan
mereka.
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 ini terlihat jelas
pembagian kewenangan antara pemerintahan pusat dengan daerah yang berdasarkan
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Sehingga pemerintah daerah bisa
leluasa mengembangkan daerahnya tanpa ada pengaruh atau intervensi dari luar.
Namun walaupun diberi kewenangan pemerintah daerah khususnya daerah otonom harus
mempertanggung jawabkan kinerjanya untuk keberhasilan maupun kegagalannya.
Sehingga hal ini dapat membuat pemerintah pusat lebih relaks, cukup dengan
memberi dukungan serta mengawasi kinerja pemerintah daerah tersebut.
Undang-undang
ini juga memberi penguatan kepada lembaga legeslatif melalui penajaman fungsi
dan perluasan hak-haknya, yang mana DPRD sekarng mempunyai fungsi membentuk
atau membuat peraturan daerah (legislasi), menetapkan APBD (budget) serta
melaksanakan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Sehingga pihak eksekutif
harus mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada eksekutif.
B.
Permasalahan
yang akan muncul
1. Pemerintah
Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten atau Kota
Dalam
UU No. 22 Tahun 1999 Provinsi mempunyai kedudukan sebagai daerah dekonsentrasi
yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintahan Pusat. Ketentuan yang
kurang jelas ini bisa menyebabkan kekurang senangan Pemerintahan Provinsi
melihat penempatan otonomi pada Kabupaten atau Kota. Karena peran Gubernur
dalam UU tersebut tidak begitu jelas, sehingga Gubernurpun bisa menjadi bingung
terhadap apa yang akan dilakukannya. Hal ini terjadi karena dalam UU telah
dinyatakan daerah Provinsi tidak memiliki hubungan yang hirarkis lagi dengan
Pemerintahan daerah Kabupaten atau Kota. Dampak psikologis dari ketentuan ini
dapat berakibat daerah Kabupaten atau Kota kurang bahkan tidak lagi menghormati
keberadaan Gubernur sebagai Wakil Pemerintahan di Daerah.
Dengan
demikian Kabupaten atau Kota dalam hal ini bisa berhubungan langsung dengan
Pemerintahan Pusat tanpa melalui Pemerintahan Provinsi terlebih dahulu. Namun
jika dipikir secara logita hal ini sebenarnya tentu akan menyulitkan pemerintah
pusat, bagaimana tidak jika seluruh Kabupaten atau Kota berkoordinasi langsung
dengan Pemerintah Pusat, tentu akan membuat Pemerintahan Pusat sangat kewalahan
mengatasinya. Dan dari itu Gubernurpun pasti akan mempertanyakan tentang
kewengan yang dimikinya, karena apabila hal di atas terjadi pasti Pemerintahan
Provinsi merasa diabaikan dan tidak memiliki kewengan yang jelas.
Untuk
menghindari hal diatas Pemerintah Pusat harus memperjelas hubungan dan fungsi
Gubernur agar tidak terjadi perselisihan
antara Pemerintah Kabupaten atau Kota dengan Pemerintahan Provinsi. Provinsi
seharusnya juga berwenang mengatur dan mengurus pemerintah Kabupaten atau Kota
dalam memajukan daerah mereka, agar Pemerintah Provinsi memiliki andil yang
jelas. Sehingga hal ini juga bisa menghindari tumpang tindih atau perselisihan
antara Pemerintahan Kabupaten atau Kota dengan Pemerintah Provins seperti yang
telah dicontohkan di atas.
2. Pemerintah
Daerah dan DPRD
Dalam
UU ini DPRD terpisah dengan Pemerintahn Daerah, hal ini bisa mengakibatkan DPRD
memposisikan diri berseberangan dengan Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. DPRD
mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Kepala Daerah, namun walaupun memiliki
kedudukan yang sama Kepala Daerah mempertanggung jawabkan pelaksanakan
kebijakan Daerah kepada DPRD. Hala ini
sebenarnya memberi peluang untuk terciptanya hubungan yang tidak sehat antara
Kepala Daerah dengan DPRD. Walaupun pada prinsipnya sebagaimana telah
dijelaskan dalam UU N0. 22 Tahun 1999 memberikan peluang kepada DPRD dalam
menjalani pengawasan kepada Kepala Daerah agar tidak bertindak berlebihan. Dan
DPRD juga bisa mengberhentikan Kepala Daerah apabila perbaikan Laporan
Pertanggung Jawaban (LPJ) Tahunan ditolak.
Hal
ini bisa menjadikan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) sebagai sarana tawar
menawar antara DPRD dengan Kepla Daerah yang berusaha menghindari dari proses
atau keputusan penolakan LPJ. Sehingga untuk menghindari penolakan LPJ
tersebut, kepala Daerah pasti berusaha melayani bahkan bisa jadi menyogok
anggota DPRD agar dapat mempertahankan posisinya sebagai Kepala Daerah, bahkan bisa
jadi Kepala Daerah menggunakan keuangan daerah yang tentunya dapat merugikan
daerah yang dipimpinnya.
Oleh
karena itu, mekanisme penolakan LPJ harus ditinjau kembali agar tidak
terciptanya kolusi, korupsi, dan nepotisme, maka ada baiknya Kepala Daerah yang
ditolak pertanggung jawabannya diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan
tentang hal-hal yang menjadi dasar penolakan pertanggung jawaban dalam jangka
waktu tertentu. Kemudian Kepala Daerah baru dapat diusulkan untuk diberhentikan
oleh Presiden.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Otonomi
daerah merupakan suatu kadaan untuk mewujudkan kemandirian suatu daerah
dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya
sendiri tanpa intervensi pihak lain. Dalam hal ini otonomi daerah sering
dikatakan sebagai konsep desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah.
Pemberlakuan
otonomi daerah khususnya dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
perlu dicermati kembali. Karena hal ini hanya memindahkan potensi korupsi dari
Pusat ke Daerah, yang mana otonomi daerah ini juga memunculkan raja-raja kecil
yang mempersubur kolusi, korupsi, dan nepotisme di daerah. Disamping itu
arogansi DPRD semakin tidak jelas karena mereka merupakan elite lokal yang
berpengaruh, karena perannya itu ditengah demokrasi yang sepenuhnya belum
terlaksana ditingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik yang baru yang
sangat rentan terhadap korupsi. Dan dalam pengambilan keputusan belum
melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan
kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin
dari pembuatan peraturan daerah (perda).
Selain
itu otonomi daerah juga memiliki dampak positif yaitu memunculkan kesempatan
identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali
pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam
menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh
lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah
pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah
serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
B.
Saran
Penjelasan dalam UU ini tentang
kedudukan dan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintahan
Provinsi harus lebih diperjelas. Karena hal ini dapat menimbulkan perselisihan
antara Pemerintah Kabupaten atau Kota dengan Pemerintahan Provinsi yang
nantinya jika keharmonisan keduanya rusak bakal membuat kewalahan Pemerintahan
Pusat, untuk itu Pemerintah Pusat harus segera memperjelas tentang hal ini.
Kemudian fungsi dan peran DPRD juga
harus ditinjau kembali agar tidak terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme di
tingkat daerah yang nantinya bakal sangat mengganggu pembangunan daerah
tersebut.
Daftar Pustaka
Kaloh,DR.J.Mencari
Bentuk Otonomi Daerah.Jakarta : Rineka cipta.2002.
Djohan, djohermansyah, Kebijakan Otonomi Daerah
1999, Jakarta : Yarsif Watampone, 2003.
Penjelasan UUD 1945
http://ozidateno.wordpress.com/penguatan-peran-masyarakat-dalam-proses-perumusan-kebijakan-publik/senin, 14 Juni 2011
http://dessypuspita.com/blog/otonomi-daerah/senin, 14 Juni 2011
http://cafe-ekonomi.blogspot.com/ulasan-mengenai-otonomi-daerah.html. senin, 20 juni 2011
http://saifoel.multiply.com/item/. Senin, 20 Juni 2011
http://jurnal-politik.co.cc/kebijakan-otonomi-daerah-era-reformasi/ rabu 22 Juni 2011
http://iyano.wordpress.com/otonomi-daerah/ kamis,23 juni 2011
http://www.unisosdem.org/otonomi/uu22-prinsip.htm. kamis, 23 juni 2011
thanks
BalasHapus