Kamis, 19 April 2012

Akrobat Pembohongan Publik Mewarnai Sidang Paripurna Kenaikan BBM


Akrobat Pembohongan Publik Mewarnai Sidang Paripurna Kenaikan BBM
Oleh    : RONI BINTARA
Mahasiswa Ilmu Politik UNAND

Beberapa hari menjelang pelaksanaan sidang paripurna yang akan membahas mengenai kenaikan BBM, banyak terjadi penolakan-penolakan yang dilakukan oleh masyarakat. Penolakan ini banyak dilakukan dalam bentuk demontrasi, bahkan tidak sedikit yang berujung anarkis karena terjadinya bentrok dengan aparat yang mengawasi jalannya demontrasi.
Puncak penolakan ini terjadi ketika sidang paripurna dilaksanakan, yang mana dalam pelaksanaan sidang paripurna yang membahas mengenai pengesahan kenaikan BBM mendapat pengawasan yang cukup ketat dari masyarakat melalui tindakan demontrasi penolakan kenaikan BBM. Demontrasi ini tidak hanya dilakukan di Jakarta saja, akan tetapi juga dilakukan diberbagai daerah seperti di Makasar, Medan dan berbagai daerah lainnya. Selain pengawasan dalam bentuk demontrasi, masyarakat juga dapat menyaksikan jalannya sidang paripurna melalui televisi yang menyiarkan secara langsung proses persidangan.
Di sini penulis berpendapat bahwa hal ini justru dimanfaatkan oleh wakil-wakil rakyat untuk mengambil hati masyarakat Indonesia dengan pernyataan-pernyataan mereka yang seolah-olah menyuarakan apa yang diinginkan oleh rakyat banyak. Bahkan, masyarakat awam sempat terlena ketika fraksi-fraksi menyampaikan pandangan mereka mengenai kenaikan BBM. Dari pandangan-pandangan fraksi tersebut, ketika dilihat dari kaca mata masyarakat awam maka ada angin segar yang disuarakan oleh wakil-wakil rakyat, karena pernyataan yang dikemukakan telah mengarah kepada penolakan kenaikan BBM. Akan tetapi pernyataan yang disampaikan itu pada hakekatnya hanya pembohongan publik semata, yang mana telah menipu dan mengkelabui masyarakat dengan memanfaatkan keluguan dari masyarakat Indonesia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataan yang mengarah kepada penolakan kenaikan BBM tersebut tidak hanya dikemukakan oleh partai oposisi  saja, tetapi pendapat ini juga dikemukakan oleh partai koalisi pemerintahan. Hal ini tentunya memberikan harapan yang sangat besar kepada masyarakat karena wakil-wakil mereka menyuarakan apa yang diinginkan masyarakat pada umumnya.
Namun, harapan masyarakat sirna ketika ada dua opsi keputusan yang didapat dari hasil lobi politik mengenai kenaikan BBM yaitu pertama, pemerintah tidak bisa menaikkan harga BBM dan kedua, pemerintah bisa menaikkan harga BBM ketika harga minyak naik atau turun sebesar 15 % dalam jangka waktu enam bulan.
Pembohongan yang penulis maksud dapat terlihat sewaktu voting pemilihan kedua opsi diatas dilakukan, dimana dari sekian banyak fraksi-fraksi yang tadinya menyuarakan penolakan kenaikan harga BBM hanya fraksi Gerindra dan PKS yang konsisten dengan pernyataan mereka mengenai penolakan terhadap kebijakan pemerintah untuk menaikkan BBM. Sementara fraksi Golkar, PPP, PAN dan PKB yang pernyataan mereka sebelumnya mengarah kepada penolakan kenaikan BBM hanyalah sebuah pertunjukan akrobat pembohongan publik yang bertujuan untuk mengelabui masyarakat semata. Sedangkan fraksi PDI dan fraksi Gerindra lebih memilih meninggalkan sidang paripurna (walk out) ketimbang tetap menyuarakan aspirasi masyarakat.
Bukankah peserta sidang itu merupakan wakil rakyat, yang semestinya lebih mengutamakan suara rakyat? Akan tetapi, apa yang telah mereka perlihatkan kepada seluruh rakyat Indonesia dalam sidang paripurna yang membahas kenaikan harga BBM merupakan contoh kecil dari pertunjukan akrobat pembohongan publik dalam praktek perpolitikan Indonesia selama ini. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok mereka ketimbang mengutamakan kepentingan rakyat pada umumnya.
Seharusnya mereka malu terhadap apa yang mereka lakukan atau bisa jadi budaya malu telah hilang dari diri wakil rakyat kita? Sehingga mereka dengan sangat nyamannya melakukan tindakan-tindakan yang tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Dan yang lebih menyakitkan, mereka dengan teganya mengelabui dan membohongi rakyat dengan pernyataan-pernyataan yang sebenarnya hanya untuk kepentingan politik kelompok tertentu.
Meskipun kebijakan kenaikan BBM ditunda, tetapi alangkah sedihnya masyarakat ketika mereka menyadari bahwa pernyataan manis itu hanyalah permainan politik semata yang bertujuan untuk mengatasi gejolak-gejolak penolakan kenaikan BBM yang terus mengawasi jalannya persidangan. Tentunya hal ini telah menggores luka yang mendalam dihati masyarakat Indonesia. Masih untung rakyat Indonesia memiliki kesabaran yang sangat luar biasa dalam menghadapi prilaku-prilaku politik wakil mereka.
Sebelum kesabaran rakyat Indonesia habis, maka dari itu wakil-wakil rakyat ini harus introspeksi diri untuk tidak melakukan tindakan seperti yang terjadi dalam sidang paripurna yang membahas mengenai kebijakan pemerintah menaikkan BBM, karena ini dapat menghilangkan kepercayaan rakyat kepada mereka. Ketika kepercayaan ini hilang, maka bisa dipastikan banyak gejolak-gejolak yang terjadi di seluruh pelosok tanah air.

Prilaku Elite Pencemar Demokrasi


Prilaku Elite Pencemar Demokrasi
Oleh    : RONI BINTARA
Mahasiswa Ilmu Politik UNAND

Sejak berakhirnya zaman Orde Baru, masyarakat sangat berharap dengan sistem demokrasi yang diterapkan pada era reformasi ini. Bersama sistem demokrasi terlintas harapan masyarakat agar keputusan-keputusan yang dibuat oleh penguasa lebih mempertimbangkan kepentingan publik, dan tidak mementingkan kelompok dominan semata.
Demokrasi sangat di agung-agungkan sebagai sistem yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, sehingga setiap individu merasa mempunyai kesamaan, keadilan, keamanan dalam menyampaikan aspirasi mereka untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dan demokrasi merupakan bentuk perwujudan dari kehidupan masyarakat yang menyuarakan kepentingan bersama melalui partisipasi, representasi, dan akuntabilitas.
Namun, pada rezim pemerintahan SBY-Boediono saat ini, banyak kritikan-kritikan yang berujung tindakan anarkis dari masyarakat yang merupakan pelampiasan bentuk kekecewaan mereka terhadap sistem demokrasi yang diterapkan tidak sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Sistem yang seharusnya diharapkan dapat mensejahterakan rakyat, justru menimbulkan banyak kesengsaraan akibat maraknya penyimpangan yang dilakukan oleh elite politik, baik itu eksekutif, legeslatif, maupun yudikatif.
Salah satu wabah yang berkembang cukup pesat dalam diri para elite saat ini adalah korupsi. Bahkan, para elite politik Indonesia juga mengukir prestasi yang sangat luar biasa yaitu masuk lima besar Negara terkorup di dunia. Prestasi yang sangat tidak diharapkan ini tentu saja telah mencoreng wajah Indonesia di mata dunia sebagai Negara demokrasi. Ini merupakan suatu kegilaan yang dilakukan oleh elite politik, karena mereka telah melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan tujuan dari demokrasi.
Prilaku politik yang diterapkan oleh para elite politik saat ini telah jauh dari konteks politik yang sebenarnya dan melebar dari cita-cita demokrasi yang di impi-impikan oleh rakyat Indonesia. Hal ini sangat berdampak buruk terhadap kelangsungan bangsa Indonesia, karena apabila kebiasaan-kebiasaan elite politik ini terus berlanjut maka bisa dipastikan tujuan dari sistem demokrasi dan penerapan politik yang sesungguhnya tidak akan tercapai.
Beberapa ahli politik berpendapat  bahwa suatu Negara bisa maju dan berkembang pesat apabila elite politik yang memimpinnya memiliki integritas dan kejujuran dalam menjalankan kekuasaan. Karena jika elite politik suatu Negara memiliki sifat yang baik, maka dengan sendirinya politik yang berkembang di Negara tersebut akan baik pula. Tetapi elite politik yang seperti ini sangat mustahil ditemukan di Indonesia yang merupakan salah satu Negara korup di dunia. Dan untuk menemukan elite politik seperti ini di Indonesia sama saja dengan “mencari air di gurun pasir”.
Berkaca dari prilaku elite di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan SBY-Boediono tidak mampu memberantas KKN yang telah merajalela pada diri elite politik dalam menjalankan kekuasaan. Bahkan kebiasaan ini terus berkembang dari waktu ke waktu dan yang sangat menyakitkan lagi justru virus ini berkembang dalam diri kader-kader partai pemenang pemilu yang juga sekaligus partai pendukung pemerintahan.
Dengan demikian bukan sistem demokrasi yang tidak tepat dilaksanakan di Indonesia, akan tetapi prilaku elite politik yang berkuasalah yang telah mencemari sistem tersebut. Demi terciptanya sistem demokrasi yang baik, maka masyarakat harus tetap mengontrol dan mengkoreksi serta mempertanyakan segala bentuk kebijakan atau keputusan yang diambil oleh penguasa.

Budaya Politik Indonesia

BUDAYA POLITIK INDONESIA

A.    Budaya Politik Indonesia Jika Dilihat dari Sudut Pandang Etika Politik
Budaya Politik merupakan bentuk penanaman  atau pembinaan nilai dan perwujudan cita-cita seperti kesejahteraan umum keadilan, dan keharuman bangsa. Selain itu budaya politik merupakan suatu hal yang mengarahkan dan membentuk tata hidup prilaku dan juga etos bangsa.[1]
Etika politik tidak hanya berkaitan dengan masalah perilaku politikus saja, akan tetapi ia berhubungan praktek institusi social, hokum, komunitas, struktur-struktur social, politik, ekonomi. Prilaku politikus hanya berperan sebagai salah satu dimensi etika politik. Etika politik mengandung aspek individual dan social : etika individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku, dan etika social karena merefleksikan masalah hokum, tatanan social, dan institusi yang adil. Etika politik juga memiliki dimensi tujuan yang terangkum dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan.[2]
Jika kita kaitkan budaya politik yang berkembang di Indonesia dengan etika politik, maka hal ini akan menjadi perbincangan yang sangat menarik. Karena di Indonesia konsep budaya politik yang menarik hanya merupakan impian semata, ketimbang prakteknya yang banyak mengutamakan kpentingan individu saja. Hal ini sangat jelas terlihat dimana elite-elit politik hanya bergelut dengan pertengkaran kekuasaan dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Bahkan tidak sedikit elit-elit tersebut melakukan pelanggaran terhadap undang-undang, hal ini akan berdampak buruk terhadap masyarakat karena mereka kehilangan ketauladanan.
Budaya politik Indonesia pada dasarnya mengalami proses liberalisasi yang mengarah pada individualisme, dimana budaya politik Indonesia bergantung kepada barometer individual kalangan pelaku-pelakunya terutama elite-elit politik saja. Sehingga, tidak ada saringan atau benteng yang cukup, kapan sebuah persaingan politik layak diakhiri dan pada level mana dihentikan sama sekali. Akhirnya yang terjadi adalah campur-baur antara masalah publik dengan masalah pribadi.

Dengan budaya politik yang lemah dan etika politik yang rendah, maka hal ini akan berdampak buruk terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dibuat. Karena kebijakan politik tersebut tentu hanya untuk kepentingan individualisme, bukan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Dan yang lebih ditakutkan lagi, kebijakan tersebut tidak terjerumus jelas sehingga tidak terlihatnya transparan kebijakan yang dibuat tersebut.[3]


B.     Bentuk Budaya Politik yang Berkembang Di Indonesia Jika Dilihat dari Sitem Demokrasi

Secara garis besar kita dapat melihat ada tiga bentuk bydaya politik di Indonesia yaitu :
1.      Hirarki yang tegar
Hirarki yang tegar ini merupakan salah satu bentuk adanya sebuah pola budaya yang dominan dan berasal dari kelompok etnis dominan yang di Indonesia etnis jawalah yang mendominasi.
2.      Kecendrungan Patronage
Pola hubungan ini mencerminkan individual yaitu antara dua individu yaitu si Patron dan si Client terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbale balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
3.      Kecendrungan Neo-Patrimonialistik
Penguasa mendapat dukungan bukan diperoleh dari kalangan aristokrasi, tetapi berasal dari kalangan budak dan tentara bayaran, yang secara langsung dikuasai sepenuhnya oleh penguasa.[4]

Budaya di dalam politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh beragam faktor antara lain: budaya asli masyarakat Indonesia, budaya impor sisa peninggalan penjajah kolonial atau lingkungan internasional, dan budaya campuran (akulturasi) keduanya. Budaya politik akan menentukan pola pemerintahan dalam menjalankan kekuasaannya.
Dapat dipahami bahwa pucuk kekuasaan pemerintahan cenderung penuh dengan pergulatan, tarik menarik kepentingan politik antara elit pemerintah dan pemain politik di luar birokrasi. Politik dapat menjelma sebagai alat mempertahankan kekuasaan, namun juga dapat merubah keadaan (reformasi). Semua tergantung sampai sejauh mana budaya politik Indonesia melegitimasi campur tangan elit politik dalam pemerintahan.
Selain di dalam pemerintahan, mempelajari budaya politik amat bermanfaat dalam menjelaskan proses kelahiran demokrasi dalam sistem politik Indonesia. Proses demokrasi yang berjalan lambat seiring dengan mundurnya tokoh reformasi dalam memenuhi janji-janjinya terhadap rakyat.
Apabila perubahan tak kunjung datang, demokrasi hanya sekedar isapan jempol dalam menciptakan wakil rakyat yang nyaring suara dan miskin tindakan. Sementara rakyat memahami demokrasi sebagai kebebasan melakukan segala sesuatu mulai dari memilih pimpinan, menurunkan pimpinan, sampai ‘kebablasan’ melakukan tindak kekerasan antara sesama dalam mempertahankan kepentingan politik individu maupun kelompok.
Oleh karena itu, memahami sistem politik Indonesia tidak dapat sepenggal-penggal, akan tetapi dalam satu kesatuan konteks budaya. Dengan memahami budaya politik, diharapkan agar para elit politik penentu kebijakan pemerintahan dapat menata ulang lembaga demokrasi Indonesia, sehingga kepentingan rakyat dapat tersalurkan dengan baik, disamping menghasilkan rakyat yang arif menyikapi perubahan sistem politik yang terjadi.[5]









Daftar Pustaka

Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta : Buku Kompas.
Gaffar, Afan. 2005. Politik Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.




[1] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Buku Kompas, 2003, hal. 2.
[2] Ibid, hal. 25.
[4] Afan Gaffar, Politik Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2005, hal. 106, 109, 115.
[5] http://gshk.blogspot.com/2010/04/budaya-dan-etika-politik-dalam-sistem.html diakses tanggal 20 februari 2012/ pukul 20.30 wib

Perwakilan Politik

1.      Konsep Perwakilan
Pemahaman tentang perwakilan politik pernah dikemukan oleh Thomas Hobbes dalam karyanya yang sangat terkenal  (Leviathan). Dalam karyanya tersebut Hobbes mengatakan bahwa manusia untuk memenuhi kebutuhan (basic need) mereka terdorong untuk melaksanakan perjanjian dengan pihak lain. Hal ini akan mengakibatkan tiap individu untuk menyerahkan segenap kekuatan atau kekuasaanya masing-masing kepada seseorang ,’segerombolan orang’ atau kepada suatu majelis.
John Locke mengatakan setiap individu mempunyai hak kepemilikan terhadap sesuatu dan untuk menjaga keamanannya dalam berbagai macam ancaman dalam konteks perjanjian social (the contrakct social), maka setiap individu harus rela memberikan sebagian hak-haknya kepada pemegang kekuasaan yang dikenal dengan istilah supermasi power. Berarti kebutuhan akan perlindungan (protection) itu mendorong manusia untuk membuat perjanjian social.
Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa negara merupakan hasil perjanjian social (contrak social) antara rakyat dan penguasa, yang mana rakyat bisa mencabut mandatnya apabila penguasa telah menyimpang dari kewenangannya. Dan untuk mengatasi perampasan hak-hak tersebut maka diperlukan seseorang yang “maha tahu” seorang legislator, pembentuk dasar hukum Negara yang bersangkutan. Ia tidak memiliki wewenang untuk memerintah, tetapi bergantung kepada kemauan bersama atau rakyat.[1]
“Jadi dapat disimpulkan konsep dari perwakilan adalah adanya hubungan dua pihak (individu dengan penguasa) untuk melakukan berbagai hal yang telah disepakati dan bertujuan untuk mencapai kepentingan bersama”.





2.      Objek dan Pendekatan dalam Studi Perwakilan Politik

Studi yang membahas mengenai perwakilan politik banyak dikembangkan dari penelitian-penelitian yang membahas badan legeslatif atau yang lebih dikenal dengan sebutan parlemen. Penelitian atau studi tentang legeslatif mengalami perkembangan dalam 3 tahap, sebagai berikut :

a.       Pendekatan Kelembagaan (Institusional)
Pendekatan ini melihat parlemen dari struktur besrta fungsinya, serta memberikan pemahaman tentang hubungan formal antara wakil dengan terwakil yang terwujud sebagai yang pemilih, tapi kurang menjelaskan hubungan yang sebenarnya dan kurang menerangkan interaksi yang terjadi dalam lembaga.

b.      Pendekatan Proses
Pendekatan ini digunakan untuk melihat objek studi melalui proses pembuatan keputusan sebagai fungsi utamanya.

c.       Pendekatan Tingkah Laku (Behavioral)
Pendekatan ini digunakan untuk melihat sikap dan tingkah laku para anggota parlemen dalam menghasilkan setiap keputusan. Melalui perkembangan pendekatan tingkah laku dalam bentuk studi individual telah mendorong teori berkaitan (linkage theory) yang mengabtraksikan hubungan individual antara wakil dengan terwakil.[2]


3.      Bentuk-Bentuk Perwakilan
a.       Perwakilan Politik (Political Representation)
Perwakilan ini merupakan bentuk perwakilan yang merupakan salah satu pilar demokrasi modern yang melalui prosedur partai politik.

Contoh :
Anggota badan legeslatif yang mewakili rakyat melalui partai politik tertentu.

b.      Perwakilan Teritorial (Territorial Representation)
Perwakilan ini merupakan kelanjutan dari system perwakilan politik, yang mana system perwakilan politik dianggap belum sempurna jika tidak dilengkapi dengan system double-checks, sehingga aspirasi dan kepentingan rakyat bisa tersalurkan dengan baik. Dan system ini biasa disebut dengan system perwakilan daerah (perwakilan teritorial).

Contoh :
Adanya anggota DPD yang mewakili daerahnya masing-masing.

c.       Perwakilan Fungsional (Functional Representation)
Perwakilan fungsional merupakan perwakilan dari berbagai macam golongan sesuai dengan fungsi dan keahliannya. Misal : ekonomi, sosial, profesi, dan bidang keahlian lainnya.
Contoh :
Pada penyelenggaraan pemilu di Indonesia tahun1971 dilaksanakan dengan mengikutsertakan baik partai politik maupun golongan fungsional.[3]








Referensi        :

Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.



[1] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2007, hlm. 122, 134, 159-160.
[3] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm.317-319.